Monday, September 30, 2013

Keterpaksaan sebagai alasan pengajuan pembatalan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Terlebih dahulu yang musti dipahami adalah syarat sah suatu Perjanjian (1320 KUHPer), sebagai berikut :
  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri; artinya tidak ada unsur paksaan (dwang), tidak ada unsur kekeliruan (dwaling). Baik kekeliruan pada subjek hukum maupun pada objek hukum dan tidak ada unsur penipuan (bedrog).
  2. Kecakapan untuk membuat suatu Perjanjian. Seseorang dikatakan tidak cakap jika meliputi : a) Orang –orang yang belum dewasa; b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; b) Mereka yang telah dinyatakan pailit; c) Orang yang hilang ingatan.
  3. Suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal (causa yang halal).
Syarat sah suatu Perjanjian nomor 1 dan 2 (perihal subjek) di atas dapat diajukan pembatalan. Sedangkan terhadap syarat sah Perjanjian nomor 3 dan 4 (perihal objek) di atas batal demi hukum apabila tidak dipenuhi.

Perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum apabila ada paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling), penipuan (bedrog) (1321 KUHPer).

Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan .... dst (1324 KUHPer). Nah, intinya di sini paksaan itu benar-benar nyata yang bisa diterjemahkan telah adanya ancaman, sehingga si Karyawan merasa takut/ terintimidasi dan mau tidak mau harus menandatangani PKWT yang diajukan Perusahaan. Apabila hal ini terjadi maka syarat sah Perjanjian nomor 1 (kata sepakat) tidak terpenuhi karena adanya paksaan dan tentunya si Karyawan dapat mengajukan pembatalan. Si Karyawan sebagai pihak yang mengajukan pembatalan wajib membuktikan secara hukum bahwa telah terjadinya paksaan dalam penandatanganan PKWT tersebut.

".... apakah kita sadar sesungguhnya semua Karyawan tidak menginginkan kerja dengan status kontrak untuk waktu tertentu, tetapi mereka "terpaksa" menandatangani agar bisa diterima bekerja". Sepertinya alasan tersebut terlalu lemah untuk berspekulasi perihal pengajuan pembatalan PKWT oleh Karyawan dengan alasan adanya unsur paksaan (dwang), karena sesungguhnya unsur paksaan tersebut terjadi tidak cukup dengan dirasa dan dikira-kira saja (hukum perlu pembuktian).

Disamping itu, yang perlu diingat adalah Perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh Para Pihak berlaku sebagai UU bagi Para Pihak yang saling mengikatkan diri/ Facta Sunt Servada (1338 KUHPer).

Dengan asumsi, bahwa di awal saat penandatanganan PKWT oleh perwakilan Perusahaan dengan Karyawan tidak ada paksaan menurut KUHPer, maka tidak ada alasan bagi Karyawan untuk mengajukan pembatalan PKWT dikemudian hari dengan alasan terpaksa karena hanya ingin diterima bekerja. Kalaulah hal ini terjadi, si Karyawan mengajukan pembatalan PKWT dengan alasan tersebut, maka dapat diartikan bahwa si Karyawan memang memiliki itikad tidak baik.
 
Unsur paksaan yang dapat dijadikan alasan pembatalan PKWT/ Perjanjian pada umumnya harus ada campur tangan pihak eksternal secara aktif (memaksa), jika paksaan di sini dikarenakan oleh keadaan, itu bukanlah paksaan. Kalau hal tersebut diartikan sebagai "paksaan" yang dapat menjadi alasan pengajuan pembatalan suatu Perjanjian, apa kabarnya dengan Perjanjian-perjanjian dalam industri Perbankan, Keuangan, Asuransi dsb?. Pada umumnya (99%) industri ini menggunakan Perjanjian Standar (Kontrak Baku).

Mungkin kita pernah berhubungan dengan Pihak Bank/ Keuangan/ Asuransi dsb. Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan saat formulir pengajuan misalnya untuk buka rekening/pinjaman/kredit/polis asuransi harus kita tandatangani?, secara menurut pemahaman kita ada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam formulir tersebut dirasa merugikan kita. Sebagian banyak dari kita tetap menandatanganinya kan?. Nah, hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai paksaan. Pihak yang menyodorkan formulir tersebut juga tidak "menodongkan pistol" kepada kita. Kita tidak bisa mengajukan pembatalan formulir tersebut dikemudian hari dengan alasan adanya "paksaan", dikarenakan hanya ingin mendapatkan nomor rekening/pinjaman/kredit/manfaat polis asuransi, karena memang pada dasarnya kita tidak dipaksa dan/atau diancam.

Begitu pula dengan PKWT, coba kita analogikan PKWT ini seperti formulir tadi. Karyawan tidak bisa menjadikan landasan hukum untuk menggugat pembatalan PKWT dikarenakan penandatangan dilakukan hanya karena ingin mendapatkan pekerjaan yang diartikan sebagai paksaan. Sekali lagi dalam setiap Perjanjian yang telah disepakati (ditandatangani) timbullah akibat hukum, Prestasi, hak dan kewajiban Para Pihak.

Kekuatan Hukum Perjanjian Ikatan Dinas

A. Seberapa kuatkah Perjanjian ikatan dinas di mata hukum ?

Dalam Hukum Perjanjian dikenal 2 (dua) jenis Perjanjian :
  1. Perjanjian Bernama (khusus) : Perjanjian-perjanjian yang memiliki nama sendiri yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer); Ex : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa dll.
  2. Perjanjian Tidak Bernama : Perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPer, namun dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Jadi, dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu (azas kebebasan berkontrak). Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai UU bagi Para Pihak (Facta sunt servada - 1338 KUHPer).
Hukum Perjanjian di Indonesia diatur dalam Buku III KUHPer. Buku III KUHPer ini menganut sistem terbuka, yang artinya memberi kemungkinan untuk dilakukannya jenis-jenis Perjanjian selain yang diatur dalam Buku III KUHPer.

Melihat dari jenisnya, Perjanjian ikatan dinas merupakan Perjanjian Tidak Bernama, alias perjanjian perdata yang pada dasarnya tunduk pada KUHPer (yang mengatur tentang Prestasi - untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu - 1234 KUHPer).

Perjanjian ikatan dinas itu pada dasarnya sah dan dapat dipertanggung jawabkan di hadapan hukum, dengan terlebih dahulu telah terpenuhinya syarat sah suatu Perjanjian (1320 KUHPer), sehingga Perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-Undang (UU) bagi Para Pihak yang telah saling mengikatkan diri (1338 KUHPer).

B. Bisakah Perusahaan memperkarakan jika Karyawan menolak membayar penalti ?

Karena Perjanjian tersebut sah secara hukum dan oleh karenanya berlaku sebagai UU bagi Para Pihak, maka Perusahaan dapat mengajukan gugatan wanprestasi (1238 KUHPer Jo 1246 KUHPer), apabila Karyawan tetap tidak bersedia membayar penalti.

Membayar Penalti merupakan konsekwensi atas tidak terpenuhinya prestasi dengan ganti kerugian (Biaya, Rugi & Bunga). Penalti yang dimaksud di sini adalah "Biaya", biaya-biaya pengeluaran, ongkos-ongkos yang nyata/tegas telah dikeluarkan oleh Perusahaan.

Katakanlah si Karyawan mengundurkan diri sebelum habis masa retensi, artinya ada tenggat waktu yang dia langgar (Jangka Waktu Perjanjian), maka si Karyawan wajib membayar penalti yang telah ditentukan dalam Perjanjian. Jika tidak memenuhi kewajibannya, bisa diajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri.

Namun, satu hal yang musti diperhatikan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, "Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang di dalam atau di luar negeri".