Monday, November 5, 2012

Konsideran

Banyak orang awam dan bahkan seorang Legal Drafter-pun keliru dalam menggunakan istilah Konsideran. Tak jarang yang mencampur adukan antara "menimbang" dan "mengingat", yang mana sesungguhnya salah satu dari 2 (dua) istilah tersebut bukanlah Konsideran.

Konsideran dalam Peraturan Perundang-undangan itu ada pada bagian "menimbang", sedangkan bagian "mengingat" bukanlah disebut sebagai konsideran, melainkan dasar hukum.

Konsideran "menimbang" memuat tentang uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang memuat unsur filosofis, sosiologis dan yuridis yang menjadi latar belakang dan alasan pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut.

Unsur Filosofis, berisi landasan kewenangan suatu instansi/ lembaga dalam menyusun peraturan (masalah sosial yang ingin diselesaikan dengan peraturan);
Unsur Sosiologis, berisi fakta yang ingin diatur (penyebab utama masalah sosial);
Unsur Yuridis, memuat pernyataan tentang pentingnya pengaturan (solusi atas permasalahan).

Pada bagian "mengingat" memuat dasar hukum, sebagaimana yang diatur dalam Lampiran Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), antara lain :

1. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
    a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan;dan
    b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Peraturan Perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

3. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, Peraturan Perundang–undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan dalam dasar hukum.

4. Jika jumlah Peraturan Perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.

Jadi, sebagai seorang Legal Drafter musti memahami perihal Konsideran ini terlebih dahulu, karena ini adalah se-cuil teknik dasar penyusunan peraturan perundang-undangan.

Cuti Ibadah Haji


Hak Cuti Ibadah Haji atau di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) dikenal dengan istilah "ibadah yang diperintahkan Agamanya".

Ketentuan cuti tentang pelaksanaan Ibadah ini salah satunya tertuang dalam Pasal 93 ayat (2)  huruf (e) UUK.

Pasal 93

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan
pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan
pengusaha wajib membayar upah apabila :
........................
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya;
....................

Ketentuan lebih lanjut mengenai upah pekerja selama melaksanakan Ibadah Haji ini diatur dalam Pasal 6 ayat (4) PP No 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), jangka waktu paling lambat pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan karena melaksanakan Ibadah yang diwajibkan agamanya adalah 3 (tiga) bulan. Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (4) PP 8/1981 disebutkan apabila pekerja melaksanakan Ibadah tersebut (Haji) lebih dari 3 (tiga) bulan atau melaksanakan haji lebih dari 1 (satu) kali maka pengusaha tidak wajib membayarkan upahnya.

Hak karyawan atas cuti tahunan tidak menjadi hilang karena melaksanakan Ibadah Haji (dengan asumsi bahwa pekerja tersebut telah berhak atas cuti tahunan). Hal ini karena merupakan kewajiban dari pengusaha untuk memberikan kesempatan pekerja melaksanakan Ibadah yang diwajibkan agamanya, dalam hal ini adalah Ibadah Haji yang dilakukan pertama kali oleh pekerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf e UUK jo Pasal 6 ayat (4) PP 8/1981.

Jadi, Cuti Ibadah haji tidak mengurangi Hak Cuti Tahunan pekerja dan Pengusaha wajib membayarkan upah secara penuh, dalam hal bahwa Ibadah Haji tersebut dilaksanakan dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan. Namun apabila pelaksanaan Ibadah Haji lebih dari 3 (tiga) bulan atau melaksanakan Ibadah Haji lebih dari 1 (satu) kali, maka pengusaha tidak wajib untuk membayar upah pekerja.

Sebaiknya ketentuan tentang Ibadah ini juga dituangkan dalam Peraturan Perusahaan dan/atau Perjanjian Kerja Bersama.