Monday, January 10, 2011

Kisah Advokat Wanita Spesialis Bela Klien Tuli


Di kota tempat tinggal Amber Farrelly Elliott, ada sekitar 50 ribu sampai 60 ribu penduduk tuna rungu dan mengalami kesulitan pendengaran
.

Populasi penduduk tuna rungu di Austin Metropolitan Area, Amerika Serikat, termasuk sangat besar. Kira-kira ada sekitar 50 ribu sampai 60 ribu penduduk yang tuli dan mengalami kesulitan pendengaran di kota tersebut. Ini adalah kota berpopulasi tuna rungu terbesar di Amerika Serikat. Apalagi, di kota ini, terdapat sekolah khusus untuk para tuna rungu dan lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan untuk para tuna rungu.

Namun, para tuna rungu atau orang-orang yang mengalami masalah pendengaran tak perlu berkecil hati bila harus menghadapi persoalan hukum. Di sana ada advokat yang bernama Amber Farrelly Elliott. Advokat perempuan ini terkenal sebagai pengacara “spesialis” mewakili klien-klien yang memiliki keterbatasan pendengaran tersebut.

Pejabat pengadilan di kota itu menetapkan Ellitott untuk mewakili semua orang tuli di Travis County yang telah ditangkap dan tidak mampu untuk menyewa pengacara sendiri. “Jumlah terdakwa yang diwakili sekitar dua atau tiga orang per bulan,” ujar Petugas Pengadilan Debra Hale.

Elliott yang masih berusia 34 tahun memang masih menangani kasus-kasus yang ringan. Karena pengalamannya yang masih terbatas, ia belum disetujui oleh para hakim di pengadilan untuk menangani kasus-kasus kejahatan berat yang dilakukan oleh para tuna rungu. Namun, kiprah Elliott selama ini sudah cukup mendapat acungan jempol.

Seorang hakim di Travis County, Nancy Hohengarten mengatakan kemampuan Elliott berkomunikasi dengan kliennya yang menjadi terdakwa menggunakan bahasa isyarat sudah cukup membuat para terdakwa itu mendapat perwakilan yang adil. Untuk menjamin adanya fair trial, para terdakwa memang harus didampingi seorang pengacara.

“Saya pikir dia adalah lawyer yang sangat baik. Dia mempunyai kemampuan berkomunikasi yang bagus dan ini mungkin karena dia pernah mengikuti pelatihan bahasa isyarat,” ujarnya

Penunjukan Elliott sebagai advokat pro-bono untuk orang-orang tuli memang bukan tanpa sebab. Elliott mengaku telah mempelajari bahasa isyarat sejak kecil. Ibunya memasukannya ke kursus bahasa isyarat pada liburan musim panas ketika ia baru berusia sembilan tahun.

Perkenalannya dengan bahasa baru ini cukup menarik minat Elliott kecil. Setiap hari, ia menaiki sepeda menuju sebuah gereja yang menjadi tempat kelas bahasa isyaratnya. Ia juga belajar bahasa isyarat dengan teman sekelasnya yang berusia lebih tua darinya pada malam hari.

Pengalaman musim panas inilah yang memulai ketertarikannya terhadap bahasa isyarat dan budaya yang dimiliki para tuna rungu, sehingga akhirnya menggugah nurani Elliott untuk membela mereka dalam kasus-kasus kriminal di Travis County. Keahlian ini tentu menjadi nilai lebih yang dimiliki Elliott, karena ia tak memerlukan penerjemah untuk berkomunikasi dengan kliennya.

Menurutnya, bahasa isyarat adalah bahasa yang indah. Bahasa yang begitu ekspresif dan menawan. Apalagi, lanjut Elliott, ketika mereka berkomunukasi satu sama lain. “Wow, mereka berkomuniasi dengan tangan mereka dan mereka saling mengerti satu sama lain,” ujarnya menceritakan pengalaman ketika pertama kali mempelajari bahasa isyarat.

Elliott memperkirakan setidaknya dia telah mewakili 65 klien tuna rungu. Kebanyakan mereka berasal dari Travis County dan sebagian berasal dari Williamson County. Kasus yang ditangani kebanyakan berkaitan dengan mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk dan pencurian.

Dalam banyak kasus, Elliott menjelaskan, jaksa kerap membatalkan tuduhan setelah Eliott memberikan penjelasan bahwa sebenarnya tidak ada kejahatan. Yang ada hanya kesalahpahaman antara orang-orang yang bisa mendengar dengan para penderita tuna rungu ini.

Salah satu contohnya, adalah ketika para tuna rungu dituduh melakukan penyerangan terhadap orang lain karena menepuk tubuh orang tersebut. Padahal, begitulah salah satu cara orang tuli berkomunikasi. “Mereka menepuk tubuh lawan bicaranya untuk memperoleh perhatian,” ujarnya.

“Jika mereka benar-benar ingin anda memperhatikan mereka, biasanya mereka menepuk lebih keras. Jika ini disebut penyerangan, berarti saya telah diserang oleh teman-teman saya yang tuli berkali-kali,” tutur Elliott menjelaskan kebiasaan berkomunikasi para tuna rungu.

Namun, tak semua orang tuli setuju dengan tindakan Elliott. Presiden Asosiasi Tuna Rungu di Texas, Paul Rutowski mengatakan ada beberapa penderita tuna rungu yang memiliki penilaian skeptis terhadap Elliott. Mereka khawatir penggunaan bahasa isyarat oleh Elliott dapat merendahkan komunitas para tuna rungu.

Paul sendiri tak sependapat dengan anggapan ini. “Saya menghargai kontribusi Amber untuk profesinya seperti kita diuntungkan juga oleh keahliannya. Bahasa isyarat yang diketahuinya sangat berguna bagi kita dan orang lain. Dia juga orang yang baik dan memiliki kepribadian yang baik,” ujarnya.

Advokat Tunanetra

Amerika Serikat, khususnya Kota Austin Metropolitan Area, boleh bangga memiliki Elliott, advokat spesialis yang mewakili klien-klien yang tuli. Namun, Indonesia tentu harus lebih bangga. Di Indonesia, justru ada seorang advokat yang memiliki keterbatasan panca indra. Dia memang bukan seorang tuna rungu, tetapi dia adalah penderita tuna netra.

Advokat buta itu bernama Sugianto Sulaiman. Bila Elliott adalah orang “normal” yang mewakilli klien yang memiliki keterbatasan panca indra di pengadilan, Sugianto justru sebaliknya. Pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara ini kehilangan penglihatannya pada 1990-an akhir. Namun, Tuhan memberikan jalan kepadanya untuk bisa berkarier sebagai advokat.

Kiprah Sugianto di bidang pengacara diawali pada 1996. Kala itu, ia bertugas di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yanng tidak mampu. Tak hanya itu, Sugianto juga aktif berorganisasi dengan para koleganya. Ia pernah tercatat sebagai Kepala Divisi Hubungan Luar Negeri DPP Serikat Pengacara Indonesia.

Hukumonline.com (Selasa 4 Januari 2011)

Sumber: www.statesman.com