Monday, October 24, 2011

Dari : prae existente regels, primus regels, perintah religi (Ayat Suci) pedoman hidup manusia sebelum Hukum positif

  • ISLAM : "...Allah Tuhan, Semesta Alam (Rabbul'alamin), Maha-pemurah (Ar-Rahman), Maha-penyayang (Ar-Rahim), Yang menguasai Hari Pembalasan (Al-Malik)" (Al-Quran, Surah ke-1, Al-Fatihah : 2,3,4); "...Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil". (Al-Quran, Surah ke-5, Al-Maidah 42).
  • KRISTEN : "Langit & bumi akan berlalu, tetapi perkataanKu tidak akan berlalu"; "Allah adalah Alfa Omega, yang sudah ada, yang akan datang, dan Yang Mahakuasa". (Alkitab : Matius 24:35, Wahyu 1:8).
  • HINDU : "Hukum dapat divonis tepat, dengan bijaksana, hanya oleh orang-orang suci, setia kepada janji". (Weda Smrti, BAB VII Pasal 31).
  • BUDHA : "Yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, tak dapat dikatakan sebagai orang adil. Orang yang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang benar mana yang salah". (Dhammapada, Bab XIX, Dhammattha Vagga : 256)

Friday, October 21, 2011

Penggunaan Mata Uang (Rupiah)

Sehubungan dengan telah diundangkannya UU No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, pada tanggal 28 Juni 2011, yang mana artinya UU ini telah mempunyai fungsi "mengikat" sejak tanggal diundangkan sebagaimana dimaksud di atas.

Berikut sedikit pembahasan tentang ketentuan UU tersebut :

Pasal 21 ayat (1) menyebutkan bahwa Rupiah wajib digunakan dalam :
a.      setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran,
b.      penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c.      transaksi keuangan lainnya,
yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perlu kita perhatikan di sini adalah frasa "yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia". Artinya, sepanjang pembayaran/ transaksi tersebut dilakukan/ dibayarkan ke luar negeri, maka dapat menggunakan mata uang asing. Sebaliknya, apabila pembayaran dilakukan di Indonesia, mata uang Rupiahlah yang harus digunakan.

Pasal 23 :
1)    Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.

Mengamati ketentuan dalam pasal tersebut di atas, sehubungan dengan perjanjian yang telah dibuat secara tertulis sebelum diundangkannya UU Mata Uang ini dapat diselesaikan/diteruskan pemenuhan transaksinya dengan menggunakan mata uang asing sebagaimana telah diperjanjikan. Perlu digaris bawahi bahwa pengecualian ini hanya berlaku bagi perjanjian yang telah ada dan berjalan sebelum UU Mata Uang ini diundangkan.

Dan bagaimana jika terjadi pelanggaran terhadap UU ini ?

Berikut ketentuan pidananya :
Pasal 33  :
1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
a.      setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b.      penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c.      transaksi keuangan lainnya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2)  Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak                                     Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah).

Monday, June 27, 2011

Teori Hukum

Teori ilmu hukum bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.

Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.

Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat berbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.

Perkembangan Teori-Teori Hukum tidak lepas dari pengaruh Sejarah Hukum, Filsafat Hukum, dan Sosiologi Hukum.

Sejarah hukum
Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual. Para sejarawan abad ke-20 telah memandang sejarah hukum dalam cara yang lebih kontekstual, lebih sejalan dengan pemikiran para sejarawan sosial. Mereka meninjau lembaga-lembaga hukum sebagai sistem aturan, pelaku dan lambang yang kompleks, dan melihat unsur-unsur ini berinteraksi dengan masyarakat untukmengubah, mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat sipil. Para Raja Hammurabi memperoleh wahyu sejarawan hukum seperti itu cenderung menganalisis sejarah kasus dari aturan-aturan hukum dari Tuhan parameter penelitian ilmu sosial, dengan menggunakan metode-metode statistik, menganalisis perbedaan kelas antara pihak-pihak yang mengadukan kasusnya, mereka yang mengajukan permohonan, dan para pelaku lainnya dalam berbagai proses hukum. Dengan menganalisis hasil-hasil kasus, biaya ransaksi, jumlah kasus-kasus yang diselesaikan, mereka telah memulai analisis terhadap lembaga-lembaga hukum, praktik-praktik, prosedur dan amaran-amarannya yang memberikan kita gambaran yang lebih kompleks tentang hukum dan masyarakat daripada yang dapat dicapai oleh studi tentang yurisprudensi, hukum dan aturan sipil.

Filsafat hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menumukan hakeket yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang.

Sosiologi hukum
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.



Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi

Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik, dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.

Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.

Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua (korektif atau remedial) pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif. Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.
Pada Abad Pertengahan

Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus. Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).

Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.

Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.

Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu :
1. Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia.
2. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu.

Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal.
1. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum.
2. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli.
3. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal.


Teori-Teori Pada Abad XIX dan Selanjutnya

Positivisme dan Utilitarianisme
Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :
1. Hukum adalah perintah.
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.

Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).

John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.

Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.

Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.

John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.


Teori Hukum Murni

Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.

Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.

Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.

Sumber :
http://henriprihantono.blogdetik.com/2009/01/12/teori-teori-hukum/
didownload Pada Hari Kamis, Tanggal 11 Pebruari 2010, Pukul12.30 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum
didownload Pada Hari Kamis, Tanggal 3 Desember 2009, Pukul 15.30 WIB

Monday, January 10, 2011

Kisah Advokat Wanita Spesialis Bela Klien Tuli


Di kota tempat tinggal Amber Farrelly Elliott, ada sekitar 50 ribu sampai 60 ribu penduduk tuna rungu dan mengalami kesulitan pendengaran
.

Populasi penduduk tuna rungu di Austin Metropolitan Area, Amerika Serikat, termasuk sangat besar. Kira-kira ada sekitar 50 ribu sampai 60 ribu penduduk yang tuli dan mengalami kesulitan pendengaran di kota tersebut. Ini adalah kota berpopulasi tuna rungu terbesar di Amerika Serikat. Apalagi, di kota ini, terdapat sekolah khusus untuk para tuna rungu dan lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan untuk para tuna rungu.

Namun, para tuna rungu atau orang-orang yang mengalami masalah pendengaran tak perlu berkecil hati bila harus menghadapi persoalan hukum. Di sana ada advokat yang bernama Amber Farrelly Elliott. Advokat perempuan ini terkenal sebagai pengacara “spesialis” mewakili klien-klien yang memiliki keterbatasan pendengaran tersebut.

Pejabat pengadilan di kota itu menetapkan Ellitott untuk mewakili semua orang tuli di Travis County yang telah ditangkap dan tidak mampu untuk menyewa pengacara sendiri. “Jumlah terdakwa yang diwakili sekitar dua atau tiga orang per bulan,” ujar Petugas Pengadilan Debra Hale.

Elliott yang masih berusia 34 tahun memang masih menangani kasus-kasus yang ringan. Karena pengalamannya yang masih terbatas, ia belum disetujui oleh para hakim di pengadilan untuk menangani kasus-kasus kejahatan berat yang dilakukan oleh para tuna rungu. Namun, kiprah Elliott selama ini sudah cukup mendapat acungan jempol.

Seorang hakim di Travis County, Nancy Hohengarten mengatakan kemampuan Elliott berkomunikasi dengan kliennya yang menjadi terdakwa menggunakan bahasa isyarat sudah cukup membuat para terdakwa itu mendapat perwakilan yang adil. Untuk menjamin adanya fair trial, para terdakwa memang harus didampingi seorang pengacara.

“Saya pikir dia adalah lawyer yang sangat baik. Dia mempunyai kemampuan berkomunikasi yang bagus dan ini mungkin karena dia pernah mengikuti pelatihan bahasa isyarat,” ujarnya

Penunjukan Elliott sebagai advokat pro-bono untuk orang-orang tuli memang bukan tanpa sebab. Elliott mengaku telah mempelajari bahasa isyarat sejak kecil. Ibunya memasukannya ke kursus bahasa isyarat pada liburan musim panas ketika ia baru berusia sembilan tahun.

Perkenalannya dengan bahasa baru ini cukup menarik minat Elliott kecil. Setiap hari, ia menaiki sepeda menuju sebuah gereja yang menjadi tempat kelas bahasa isyaratnya. Ia juga belajar bahasa isyarat dengan teman sekelasnya yang berusia lebih tua darinya pada malam hari.

Pengalaman musim panas inilah yang memulai ketertarikannya terhadap bahasa isyarat dan budaya yang dimiliki para tuna rungu, sehingga akhirnya menggugah nurani Elliott untuk membela mereka dalam kasus-kasus kriminal di Travis County. Keahlian ini tentu menjadi nilai lebih yang dimiliki Elliott, karena ia tak memerlukan penerjemah untuk berkomunikasi dengan kliennya.

Menurutnya, bahasa isyarat adalah bahasa yang indah. Bahasa yang begitu ekspresif dan menawan. Apalagi, lanjut Elliott, ketika mereka berkomunukasi satu sama lain. “Wow, mereka berkomuniasi dengan tangan mereka dan mereka saling mengerti satu sama lain,” ujarnya menceritakan pengalaman ketika pertama kali mempelajari bahasa isyarat.

Elliott memperkirakan setidaknya dia telah mewakili 65 klien tuna rungu. Kebanyakan mereka berasal dari Travis County dan sebagian berasal dari Williamson County. Kasus yang ditangani kebanyakan berkaitan dengan mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk dan pencurian.

Dalam banyak kasus, Elliott menjelaskan, jaksa kerap membatalkan tuduhan setelah Eliott memberikan penjelasan bahwa sebenarnya tidak ada kejahatan. Yang ada hanya kesalahpahaman antara orang-orang yang bisa mendengar dengan para penderita tuna rungu ini.

Salah satu contohnya, adalah ketika para tuna rungu dituduh melakukan penyerangan terhadap orang lain karena menepuk tubuh orang tersebut. Padahal, begitulah salah satu cara orang tuli berkomunikasi. “Mereka menepuk tubuh lawan bicaranya untuk memperoleh perhatian,” ujarnya.

“Jika mereka benar-benar ingin anda memperhatikan mereka, biasanya mereka menepuk lebih keras. Jika ini disebut penyerangan, berarti saya telah diserang oleh teman-teman saya yang tuli berkali-kali,” tutur Elliott menjelaskan kebiasaan berkomunikasi para tuna rungu.

Namun, tak semua orang tuli setuju dengan tindakan Elliott. Presiden Asosiasi Tuna Rungu di Texas, Paul Rutowski mengatakan ada beberapa penderita tuna rungu yang memiliki penilaian skeptis terhadap Elliott. Mereka khawatir penggunaan bahasa isyarat oleh Elliott dapat merendahkan komunitas para tuna rungu.

Paul sendiri tak sependapat dengan anggapan ini. “Saya menghargai kontribusi Amber untuk profesinya seperti kita diuntungkan juga oleh keahliannya. Bahasa isyarat yang diketahuinya sangat berguna bagi kita dan orang lain. Dia juga orang yang baik dan memiliki kepribadian yang baik,” ujarnya.

Advokat Tunanetra

Amerika Serikat, khususnya Kota Austin Metropolitan Area, boleh bangga memiliki Elliott, advokat spesialis yang mewakili klien-klien yang tuli. Namun, Indonesia tentu harus lebih bangga. Di Indonesia, justru ada seorang advokat yang memiliki keterbatasan panca indra. Dia memang bukan seorang tuna rungu, tetapi dia adalah penderita tuna netra.

Advokat buta itu bernama Sugianto Sulaiman. Bila Elliott adalah orang “normal” yang mewakilli klien yang memiliki keterbatasan panca indra di pengadilan, Sugianto justru sebaliknya. Pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara ini kehilangan penglihatannya pada 1990-an akhir. Namun, Tuhan memberikan jalan kepadanya untuk bisa berkarier sebagai advokat.

Kiprah Sugianto di bidang pengacara diawali pada 1996. Kala itu, ia bertugas di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yanng tidak mampu. Tak hanya itu, Sugianto juga aktif berorganisasi dengan para koleganya. Ia pernah tercatat sebagai Kepala Divisi Hubungan Luar Negeri DPP Serikat Pengacara Indonesia.

Hukumonline.com (Selasa 4 Januari 2011)

Sumber: www.statesman.com